"Nah ketika mau buat dodol itu karena memang hasil dari iuran masyarakat ternyata bukan dari bahan beras ketan tapi beras biasa. Dan hasilnya semuanya nggak jadi dodol tapi tidak lengket juga. Terus biar nggak mubazir diapakan gitu ya sudah dibungkus pakai daun bemban yang biasanya itu ada dipagar-pagar setelah dicoba itu hasilnya ternyata bagus nggak lengket," katanya.
Aep menambahkan, saat disuguhkan ternyata makanan yang terbuat dari beras yang dicampur dengan gula aren tersebut disukai para bangsawan. Raden Wangsa Sanjaya yang berasal dari Sagalaherang menanyakan makanan tersebut. Warga pun spontan menjawab mapaes yang artinya menghias.
BACA JUGA : Lokasi dan Harga Wisata Petik Melon di Grand Sakina Farm Subang
"Karena dodolnya nggak ada jadi ya itu papaes aja papaes namanya. Ternyata setelah dimakan itu tamu-tamu pada suka. Nah karena kuenya itu baru dilihat ketika tamu kehormatan mau pulang baru dibuatlah oleh-oleh lah. Kejadian itu terjadi sekitar abad 19 tepatnya tahun 1829," imbuhnya.
Singkat cerita, Aep mengatakan mapaes atau papaes tersebut menjadi makanan khas di Desa Cisaat. Bahkan menjadi makanan kegemaran orang Belanda setiap berkunjung ke Desa Cisaat saat itu. Papaes pun akhirnya menjadi papais karena mengikuti ejaan orang Belanda yang tidak bisa menyebut e.
BACA JUGA : Unik dan Nikmat, Pecinta Bakso Wajib Cicipi Bakso Lava Tumpeng di Jalancagak Subang
"Penguasa perkebunan teh yang berdomisili di Kota Bandung orang Belanda namanya Park Lodhen berkunjung ke Sagalaherang tempatnya sari Raden Wangsa Sanjaya dijamu pakai makanan papaes tersebut. Ternyata waktu dia mencoba dan makan juga suka nanya kalau itu kue apa namanya, terus dijawab kue papaes nah berhubung dia orang Belanda yang bahasanya e bisa menjadi i jadinya nyebut papais. Nah jadi papais itu sebutan atau ejaan orang Belanda," ungkapnya.
Editor : Yudy Heryawan Juanda