"Ini kasus sangat unik, bukan hanya menyangkut hubungan ibu dan anak, tapi yang unik adalah terdakwa ini jadi orang istimewa menurut saya. Dia bisa kesana kemari tanpa dilakukan penahanan," kata Iing saat dihubungi awak media, Sabtu (10/8/2024)
Menurut Iing, kasus ini sebenarnya adalah kasus pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP, yang mengancam terdakwa dengan hukuman maksimal hingga tujuh tahun. Namun, selama proses hukum berlangsung, pihak kepolisian, kejaksaan, hingga majelis hakim tidak pernah melakukan penahanan terhadap terdakwa.
"Ini pasalnya 263 yah, tahu dong ancamannya gimana, tapi mulai dari tahap 1, tahap 2, tahap 3 leluasa sekali gak ditahan-tahan. Masih ingat kasus nenek Minah yang maling 3 buah Kakao untuk makan, selama diproses dia dibui, dan divonis hukuman 1,5 bulan. Lah ini kriminal pemalsu tanda tangan liar-liar saja," ungkapnya.
Selain itu, Iing juga menyebut adanya kabar bahwa hakim sempat mencoba melakukan mediasi agar kasus ini diselesaikan melalui perdamaian (RJ) antara pelapor dan terdakwa. Padahal, menurutnya, hal tersebut bukanlah kewenangan majelis hakim, karena pengadilan adalah tempat mencari keadilan.
"Minggu kemarin di sidang ketiga katanya majelis hakim menjadwalkan mediasi yah, lihat dong kontruksi hukumnya, RJ sebenarnya hanya untuk ancaman hukuman kurang dari dua tahun dan hukum pidana tidak mengenal belas kasihan, dan lagi ini RJ atau apa namanya mediasi kok di pengadilan, sebenarnya RJ ini produk siapa? Polisi, Jaksa, atau Hakim? Seharusnya di Jaksa dong karena Pengadilan ini tempat orang mencari keadilan," imbuhnya.
Iing juga menambahkan bahwa majelis hakim sempat meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak memberikan pernyataan di media selama persidangan berlangsung. Namun, setelah peringatan tersebut, terdakwa justru aktif berbicara tentang kasusnya di tiga kanal podcast YouTube.
Editor : Yudy Heryawan Juanda
Artikel Terkait