"Pasal 18 UU yang sama mengancam siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik dengan pidana maksimal dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta," jelasnya.
Senada dengan pernyataan tersebut, Ketua Umum IJTI Pusat menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers. “Perbuatan ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga mencoreng citra kepolisian sebagai pelindung rakyat sekaligus mitra jurnalis. Tindakan ini dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Pers,” tegasnya.
Insiden tersebut terjadi pada Senin, (23/12/2024), ketika Ridha Yansa, seorang jurnalis RTV, meliput aksi unjuk rasa oleh Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Badko Sulawesi Utara-Gorontalo di Mapolda Gorontalo. Demonstrasi tersebut memprotes maraknya peredaran rokok ilegal di wilayah Gorontalo.
Saat aksi berlangsung, massa membakar ban di gerbang Mapolda sehingga situasi semakin kacau. Polisi melakukan penangkapan terhadap beberapa peserta aksi. Ketika Ridha merekam peristiwa tersebut, Kombes Pol. Tony E.P. Sinambela menghampirinya dan memukul tangan Ridha yang memegang ponsel. Akibatnya, ponsel Ridha yang baru dibeli terjatuh dan mengalami kerusakan pada LCD sehingga tidak bisa digunakan.
IJTI menegaskan bahwa tindakan tersebut mencerminkan pelanggaran serius terhadap tugas jurnalistik yang seharusnya dilindungi oleh negara, termasuk aparat kepolisian.
Editor : Yudy Heryawan Juanda