Ia juga menilai mekanisme aduan digital melalui Kominfo masih jauh dari kata maksimal sebab lembaga tersebut memikul terlalu banyak tugas.
“Untuk mengurus persoalan digital ini perlu lembaga yang fokus. Kominfo itu ngurus radio, TV, provider, semuanya. Tidak akan maksimal,” katanya.
Sementara itu, Ikrardi Putera, M.SP, dari HIPMI, menyoroti persoalan kebocoran data pribadi yang kini menjadi pemicu utama maraknya penipuan digital.
“Tingkat kebebasan digital makin tinggi, tapi penyalahgunaan seperti cybercrime juga makin berbahaya. Tahun 2025 saja penipuan digital mencapai nilai triliunan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa negara harus memperkuat perlindungan data masyarakat agar tidak terus menjadi sasaran penipuan dari pihak-pihak yang mengatasnamakan lembaga resmi.
“Pemerintah harus melindungi data pribadi warganya. Ini yang belum terasa signifikan,” tegasnya.
Ikrardi juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi yang tinggi di ruang digital tetap membutuhkan etika dan kesadaran. Tanpa literasi digital, kebebasan justru bisa memicu persoalan baru.
“Netizen kadang tidak paham bahwa kebebasan itu ada batasnya. Norma dan etika harus tetap berlaku di dunia digital,” ujarnya.
Menurutnya, penyusunan kerangka hukum baru seperti RUU Keamanan dan Ketahanan Siber dapat menjadi pijakan untuk memperkuat keamanan digital nasional, sekaligus memastikan kesiapan generasi muda menyongsong Indonesia Emas 2045.
Forum Dialog Digital Aman 2025 pun menutup diskusinya dengan satu pesan bersama keamanan digital bukan hanya soal teknologi, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Dari perlindungan data hingga literasi digital, semua pihak termasuk pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha yang memegang peran penting untuk menjaga ruang digital tetap aman bagi generasi mendatang.
Editor : Yudy Heryawan Juanda
Artikel Terkait
