JAKARTA, iNews.id - Ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan lapangan yang berfokus pada ketahanan pangan di Desa Ciasem Girang, Ciasem, Subang, Jawa Barat, penting untuk dicatat bahwa isu ketahanan pangan bukan hanya menjadi sorotan ketika harga pangan melonjak atau sebagai alat politik semata. Ini merupakan masalah yang sangat nyata dan memerlukan perhatian serius.
Menurut Laporan Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) tahun 2022, ketahanan pangan Indonesia masih belum mencukupi, dengan indeks hanya mencapai 60,2, kalah dari beberapa negara tetangga. Masalah utamanya adalah ketersediaan pasokan dan kualitas gizi.
Lonjakan impor beras tahun ini yang mencapai 3,5 juta ton menunjukkan bahwa ketahanan pangan harus dibangun di atas fondasi yang lebih kuat.
Ketergantungan pada impor pangan, terutama dari beberapa negara sumber impor, membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan perubahan iklim seperti El Nino.
Untuk menghindari situasi yang terus berulang, Indonesia harus fokus pada pembangunan ketahanan pangan yang didasarkan pada kemandirian. Ini mencakup mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan kemampuan produksi pangan dalam negeri yang beragam.
Inovasi teknologi Biosoildam MA 11 yang ditemukan oleh Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi M.Eng., penerima Kalpataru 2023 dari Pemerintah RI, telah muncul sebagai pendorong perubahan positif dalam pertanian Indonesia.
Teknologi ini merupakan langkah menuju pertanian yang berkelanjutan, menggantikan metode kimia konvensional dengan praktek organik yang berkelanjutan.
Teknologi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia berbahaya, tetapi juga mendukung pertanian yang lebih ramah lingkungan dan tahan terhadap iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina, termasuk kekeringan dan hujan badai serta banjir, karena dinding selnya lebih tebal.
Namun, tantangan besar masih menanti dalam mencapai swasembada pangan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah menegaskan ambisinya, tetapi kritik dan harapan dari para ahli dan pengamat menunjukkan bahwa langkah-langkah konkret dan berkelanjutan diperlukan untuk meningkatkan produksi pangan nasional.
Dalam konteks hak lingkungan, penting untuk menyadari pentingnya hak asasi manusia terhadap lingkungan hidup.
Para pemimpin Indonesia diharapkan untuk memahami bahwa keberlangsungan lingkungan adalah kunci bagi masa depan yang berkelanjutan.
Kesadaran lingkungan di kalangan pemilih muda juga perlu diperhatikan, dan pemimpin baru harus membangun sistem politik dan ekonomi yang menjaga keberlangsungan lingkungan alam.
Penting untuk memandang isu ketahanan pangan dan lingkungan sebagai prioritas nasional yang perlu diatasi dengan serius dan tindakan konkret. Semua lapisan masyarakat, termasuk pemerintah, sektor swasta, petani, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, diharapkan untuk berperan aktif dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman berencana mengubah lahan rawa menjadi sawah untuk meningkatkan produksi pangan di dalam negeri. Ada sekitar 1,5 juta hektar lahan rawa, baik rawa mineral maupun rawa tadah hujan, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan indeks pertanaman.
Mentan Amran menargetkan meningkatkan indeks pertanaman lahan rawa dari sebelumnya hanya 1 menjadi 2, dan yang sebelumnya 0 menjadi 2. Meskipun anggaran untuk menggarap lahan rawa tersebut belum dihitung.
Langkah ini diharapkan akan membantu meningkatkan produksi pangan di Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi juga menekankan potensi besar di lahan rawa yang siap digarap untuk menggenjot produksi.
Penggarapan lahan rawa akan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan 1 juta hektar lahan rawa mineral atau rawa yang dapat ditanami padi. Semua langkah ini diharapkan dapat meningkatkan swasembada pangan di Indonesia.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta