KARAWANG, iNews.id – Sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan surat keterangan waris (SKW) oleh Kusumayati mendapat sorotan. Kongres Advokat Indonesia (KAI) mendesak agar JPU tidak menghambat proses hukum dalam kasus tersebut.
Ketua Dewan Penasihat KAI, Erman Umar, mengingatkan jaksa agar tidak terus menunda persidangan yang telah memasuki tahap penuntutan.
Desakan ini muncul karena jaksa penuntut umum diduga memaksa korban untuk menempuh jalur restorative justice, meskipun tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
"Sidang jangan sampai menjadi molor terus. Sehingga ini membuat tidak ada kepastian hukum," kata Erman Umar dalam keterangannya kepada wartawan.
Erman, yang juga Ketua Forum Advokat untuk Keadilan dan Demokrasi (Fatkadem), menegaskan bahwa restorative justice tidak dapat menghapus tindak pidana, terutama yang dilakukan oleh terdakwa.
"RJ itu tidak pernah bisa menghilangkan pidana yang telah terjadi, tetapi hanya bisa meringankan. Sehingga, jika masing-masing pihak tidak mau menempuh RJ, maka proses hukum harus segera diputuskan," tegasnya.
Erman Umar, yang pernah menjabat sebagai Presiden KAI, meyakini bahwa hakim akan bersikap tegas dalam menyelesaikan kasus ini. Ia berharap agar JPU tidak lagi memaksakan upaya perdamaian jika kedua pihak lebih memilih jalur hukum.
"Itu ada batasnya, jangan dipaksa karena keputusan semua ada di hakimnya. Yang penting ada kepastian karena rasa keadilannya harus tetap dikedepankan," tandasnya.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengakui bahwa pihaknya telah menerima rencana penuntutan Kusumayati, meskipun sidangnya telah beberapa kali tertunda.
Terdakwa Kusumayati sebelumnya dilaporkan atas dugaan pemalsuan tanda tangan anaknya, Stephanie, berdasarkan pasal 263 KUHP yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana berat.
"Yang pasti rentutnya sudah di kejaksaan. Makanya pimpinan Jampidum memerintahkan kajari kajati. Mungkin secara formal okelah, tapi apa itu penyelesaian yang paling baik," kata Harli Siregar.
Aktivis hukum Karawang, Abad Badjuri, menyoroti perbedaan perlakuan yang diterima terdakwa Kusumayati dibandingkan dengan terdakwa lain dalam proses peradilan.
“Coba kita bandingkan dengan terdakwa lain, misalnya ibu-ibu yang dipenjara karena demo menolak pabrik minyak kelapa sawit di Sumatera Utara, videonya sampai viral ketika memeluk anaknya di balik jeruji besi. Padahal itu unjuk rasa yang diatur oleh Undang-Undang, ibu itu tetap diproses hukum dan dipenjara. Kenapa Kusumayati tidak?” ucap Abad beberapa waktu lalu.
Abad juga membandingkan kasus ini dengan Nenek Minah di Banyumas, Jawa Tengah, yang pada 2009 dipenjara karena dituduh mencuri tiga buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan.
“Nenek Minah tetap dipenjara dengan tuduhan mencuri 3 buah kakao, padahal dia tidak tahu pohon itu milik perusahaan, dan buah yang diambilnya juga tidak dibawa. Tetap saja dia dipenjara,” lanjut Abad.
Menurut Abad, proses hukum yang diterapkan pada Kusumayati terasa janggal, mengingat ia jelas-jelas telah melakukan tindak pidana yang merugikan korban, meskipun itu anaknya sendiri.
“Ini yang saya bilang aneh. Saya hanya menyayangkan bahwa marwah penegakan hukum dan proses peradilan seperti dilecehkan oleh terdakwa bernama Kusumayati,” pungkasnya.
Editor : Yudy Heryawan Juanda
Artikel Terkait